Keegoisan Ormas Pada Penetapan 1 Syawal


Mungkin soal perbedaan 1 Syawal adalah sesuatu yang jamak terjadi di Indonesia, jika tidak bisa dikatakan wajar atau lumrah. Namun para pakar sains murni yang berparadigma positifistik dan strukturalis, hanya melihat persoalan tersebut dari segi normatif saja, yakni persoalan teknis penghitungan atau kriteria bulan. Akan tetapi jika berbicara umat Islam di Indonesia tak dapat dilepaskan dari yang namanya gerakan sosial politik ormas yang sejak era sebelum kemerdekaan panji-panji ormas keagamaan telah berkibar di tanah air, bahkan kemudian ada yang sampai memasuki ranah politik, mendirikan partai, dsb.


Tiap ormas mempunyai jama’ah tersendiri dan tiap jama’ah mengikuti patron yang ada dalam ormas keagamaan yang diikutinya. Cara membaca umat Islam tak bisa dilepaskan dari eksistensi ormas keagamaan, khususnya keislaman. Contoh sederhananya kalau kita lihat wawancara di televisi, setiap kali ada perbedaan penetapan 1 Syawal, pasti yang lebih dahulu dikaitkan adalah pertanyaan oleh pihak stasiun televisi, apakah ormas A dan B berbeda, ataukah sama, padahal konsekuensinya sudah sama-sama diketahui oleh masyarakat Indonesia bahwa di era reformasi seperti sekarang tidak bisa lagi diterapkan tindakan represif seperti masa Orde Baru, tiap ada yang berbeda langsung diturunkan aparat.

Namun mengapa masyarakat terkesan tidak bisa menerima perbedaan itu dan terus meributkan hal demikian. Apakah orang Indonesia tidak bisa belajar sedikit dewasa, atau pertentangan semacam ini ada karena pada tingkat elit patron juga ada pertentangan yang diam-diam terus dilestarikan. Contohnya kalau kita lihat soal pertentangan penetapan 1 Syawal 1432 H. Nampak sekali semua media televisi dan tokoh-tokoh patron atau figur yang diwawancarai mengarah menyerang Muhammadiyah. Bahwa metode yang digunakan oleh Muhammadiyah berbeda dengan metode yang digunakan mayoritas ulama, baik lokal maupun internasional.

Sementara di lain sisi Muhammadiyah kelihatan beda sendiri, walaupun selain Muhammadiyah ada pula organisasi tarikat yang merayakan hari raya Idul Fitri berbarengan sebagaimana yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Mengapa Muhammadiyah kelihatan bandel ini dikarenakan adanya ketimpangan komunikasi politik dalam tataran pengambil kebijakan, utamanya di tingkat Kabinet. Secara keseluruhan, dapat dilihat dalam kabinet SBY siapa saja mentri-mentri dari kalangan Muhammadiyah, dan siapa-siapa dari kalangan NU. Kalau mau lebih spesifik, dalam sejarah kabinet di Republik Indonesia, biasanya ada keseimbangan kalau mentri Agamanya NU, maka mentri Pendidikannya dari Muhammadiyah. Atau pun sebaliknya, namun kali ini tiba-tiba pattern atau pola tak tertulis itu memudar dikarenakan menjamurnya ormas-ormas keagamaan yang siap menyaingi dua ormas yang katanya terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah.

Walaupun tidak otomatis sama antara ormas dan parpol, tetapi siapa saja boleh survei mengenai orang-orang di tubuh parpol PKB, apakah sebagian besar termasuk warga NU atau bukan. Demikian pula dengan PAN dan Muhammadiyah. Selain itu saat ini kabinet pemerintah SBY pun diisi oleh para loyalisnya sehingga kalkulasi politiknya mungkin lebih condong ke NU, melihat bagaimana partai afiliasi NU di parlemen yakni PKB sedang adem ayem dengan partai penguasa di mana SBY bernaung, yakni Demokrat. Pemaparan ini hanya mencoba untuk melihat fenomena perbedaan penetapan 1 Syawal dengan cara baca dan perspektif berbeda yang tidak hanya normatif sebagaimana sering kita saksikan belakangan ini. Demikian pula tidak ada tendensi atau kecenderungan berpihak pada salah satu ormas keagamaan mana pun.

sumber: kompasiana

Read this | Baca yang ini



Widget by [ Tips Blogger ]

0 comments:

Post a Comment

 
hostgator coupon