Generasi Perokok


Pemerintah sedang disorot pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang rokok. Content RPP yang akan memberlakukan jumlah rokok dalam kemasan hingga gambaran terburuk akibat rokok belum seluruhnya disambut positif.

Bahkan, sejumlah daerah telah memprotes RPP yang tengah digodok Kementerian Kesra itu. Mereka berdalih pembatasan rokok berakibat pada petani tembakau akan kehilangan pendapatan.


Di sisi lain, pemerintah memang perlu berbuat sesuatu untuk menyehatkan rakyatnya dari bahaya rokok kendati harus kehilangan Rp 63 triliun per tahun dari cukai rokok. Apalagi, sejumlah negara telah meratifikasi UU anti tembakau untuk mereduksi pemakaian tembakau dan zat adiktif di negaranya. Jika tidak, Indonesia akan dikucilkan kendati saat ini duduk kepada ketua ASEAN.

Kebebasan merokok dan perilaku merokok menyebabkan jumlah perokok terus meningkat. Sekitar 65 juta dari 235 juta penduduk Indonesia sebagai perokok aktif. Belum lagi hitungan perokok pasif yang umumnya para generasi muda dan kaum pelajar.

Sebagai cotoh perilaku merokok di Aceh. Seorang mahasiswa luar Aceh nyaris tak percaya dengan kondisi sebuah kampus kesehatan di Banda Aceh sangat leluasa bagi perokok. Para mahasiswa dengan bebas dan nyaman membeli rokok di lingkungan kampus. Kantin kampus setempat pun menyediakan semua jenis rokok yang menjadi pilihan mahasiswa. Nuansa merokok sangat kental menyamai pemandangan merokok di pasar-pasar tradisional. Dia tidak habis pikir, di kampus kesehatan, kebiasaan dan perilaku merokok menyamai pasar.

Mahasiswa ini pun menghitung frekuensi merokok tanpa jeda. Rest area atau kantin berubah menjadi arena kompetisi merokok bagi mahasiswa juga staf kampus tersebut. Kepulan asap rokok tak pernah putus dalam interval satu jam. Rokok hampir saja menjadi “kudapan” wajib bagi mereka yang memang menikmati atmosfir merokok, padahal itu masih dalam kawasan kampus kesehatan.

Bunuh Diri
Rokok bukan saja konsumsi mereka yang dewasa atau remaja, tapi juga anak-anak. Anak usia sekolah dasar sudah terbiasa dengan rokok. Bahkan, mereka tak segan meminta orang lain untuk membakar rokoknya. Kalau pun dilarang, mereka dengan santai berkilah bahwa merokok untuk menghilangkan masalah. Merokok telah merambah ke semua lapisan masyarakat dan jenjang usia. Jumlahnya makin bertambah seiring pengaruh iklan rokok yang membohongi publik.

Anak usia sekolah yang sebelumnya perokok pasif, malah jadi perokok aktif. Bukan hal tabu, ketika melihat siswa sekolah santai menikmati rokok saat menuju ke sekolah. Bahkan tanpa merasa bersalah, mereka mengepulkan asap rokok di depan sekolah saat kegiatan belajar-mengajar masih berlangsung. Sangat bertolak belakang dengan kondisi di era 80-an ketika rokok menjadi “barang haram” bagi anak usia sekolah.

Menurut survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) antara tahun 2004-2006 di enam lokasi sekolah kota besar di Indonesia menemukan 24 hingga 41 persen siswa berusia 13-15 tahun adalah perokok. Bahkan 83 hingga 93 persen anak perokok yang mencoba berhenti merokok tidak berhasil.

Perokok di Indonesia 63 persen adalah lelaki. Konsumsi tembakau menyebabkan 200 ribu orang meninggal dunia per tahun. Satu dari delapan orang meninggal bukan disebabkan langsung atau dialami perokok pasif. Perempuan non-perokok akibat asap rokok di rumah berpeluang 25 persen mengidap penyakit kanker paru-paru.

Mengalihkan sumber dana belanja rumah tangga untuk belanja tembakau berdampak buruk bagi kesehatan keluarga. Survei terhadap 175 ribu rumah tangga miskin perkotaan pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa: kepala keluarga yang perokok menimbulkan kemungkinan besar gizi buruk kronis pada anak.

Bukti penelitian yang dilakukan 10 tahun terakhir, 50 persen perokok meninggal akibat kecanduan. Seperti kematian disebabkan kanker, penyakit jantung dan pernafasan kronis adalah penyebab utama kematian akibat rokok. Proyeksinya sebuah lembaga penelitian, kematian akibat rokok pada tahun 2015 adalah 50 persen lebih banyak daripada kematian akibat HIV/AIDS (Survei Sosial Ekonomi Nasional: 2004).

Beberapa daerah di Indonesia telah menerapkan peraturan daerah. Selain DKI Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Palembang, dan Bogor telah menerapkan larangan merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Yogyakarta telah menerapkan pajak hingga enam kali lipat dari pajak normal khusus untuk produk rokok. Meskipun, perda tersebut tidak berjalan efektif, paling tidak pemerintah daerah telah berbuat menyelamatkan warganya dari racun, nikotin, dan zat adiktif yang mematikan.

Masalah rokok bahkan telah diharamkan melalui fatwa MUI dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kedua pimpinan lembaga ini melihat faktor kemudharatan rokok lebih besar daripada manfaat. Merokok merupakan perbuatan tabzir (pemborosan) dan habaits (buruk), Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas menyatakan, status haram merokok merupakan tujuan dari syari’ah (maqosidussar’iyyah). Karena, tujuan dari maqosidussar’iyyah di antaranya adalah hifdzunnas (menjaga manusia)

Jika dilihat dari akibat dan peringatan terhadap rokok, tak ada yang menguntungkan. Selain menimbulkan kemudharatan dan pemborosan juga mendatangkan kematian. Rokok tidak membunuh pecandunya secara cepat, tapi perlahan hingga zat racun yang mengendap dalam tubuh perokok menyebabkan kematian secara perlahan tapi pasti. ***

Oleh : Mukhtaruddin Yakob
Penulis adalah Jurnalis dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI ) Banda Aceh
Artikel ini telah dipublikasikan di Harian Analisa, Medan, 24 Maret 2011

Read this | Baca yang ini



Widget by [ Tips Blogger ]

0 comments:

Post a Comment

 
hostgator coupon