Tulisan ini dibuat berawal dari melihatnya tayangan televisi Jepang hari selasa malam (15/3), tentang seorang nenek tua berumur 86 tahun yang menyanyikan sebuah lagu yang tidak tahu apa judulnya dan apakah benar-benar lagu itu ada dan terkenal di masa lalu.
Nenek renta yang selamat dari amukan bencana gempa bumi dan tsunami di prefecture Miyagi Jepang tersebut sambil menyanyi lagu dengan suara mengalun-alun, menatap lautan luas yang sudah tenang setelah galak kepada dirinya dan banyak penduduk sehingga menghilangkan dan menewaskan puluhan ribu jiwa.
Awalan yang seperti itu disambung dengan tulisan di harian Kompas hari ini (16/3) tentang bencana Jepang dengan judul “Ketangguhan Jepang Memukau Dunia” dengan menampilkan sebuah foto seorang ibu muda mengendong anaknya sambil memasak untuk keluarganya di depan reruntuhan rumahnya.
Dengan melihat dua kisah tersebut memang bisa dirasakan sebelum memukau dunia, pasti akan terlebih dahulu memukau hati-hati manusia yang menyaksikannya, siapapun mereka.
Nenek tua yang sebelumnya menyanyikan lagunya itu selanjutnya berjala di tepi laut dengan raut muka yang ceria sambil melihat pemandangan laut yang sudah tenang sambil memandang juga reruntuhan rumah-rumah di atas tanah bekas desanya.
Seperi yang dibaca penduduk dunia sampai detik ini, bahwa Jepang telah dan sedang diguncang tiga bencana besar sekaligus, yaitu gempa, tsunami, dan ancaman nuklir. Suatu bencana yang luar biasa yang sungguh menguras perasaan dan tenaga untuk mengatasi dampaknya.
Di dalam harian Kompas hari ini, yang judulnya disebutkan di atas menuliskan bahwa ketangguhan Jepang menghadapi tekanan tiga bencana besar sekaligus tersebut telah memukau dunia. Reputasi internasional Jepang sebagai negara kuat mendapat pujian luas. Tak adanya penjarahan menguatkan citra “bangsa beradab”.
Pemerintah Jepang, Selasa (15/3), terus memacu proses evakuasi dan distribusi bantuan ke daerah bencana yang belum terjangkau sebelumnya. Seluruh kekuatan dan sumber dayanya dikerahkan maksimal ke Jepang timur laut, daerah yang terparah dilanda tsunami.
Jepang lalu mengabarkan drama amuk alam yang menyebabkan lebih dari 10.000 orang tewas dan 10.000 orang hilang itu ke seluruh dunia. Meski sempat panik, Jepang dengan cepat bangkit, mengerahkan seluruh kekuatannya, mulai dari tentara, kapal, hingga pesawat terbang. Jumlah tentara dinaikkan dua kali lipat dari 51.000 personel menjadi 100.000 personel. Sebanyak 145 dari 170 rumah sakit di seluruh daerah bencana beroperasi penuh.
Sekalipun kelaparan dan krisis air bersih mendera jutaan orang di sepanjang ribuan kilometer pantai timur Pulau Honshu dan pulau lain di Jepang, para korban sabar dan tertib menanti distribusi logistik. Hingga hari keempat pasca bencana, Selasa (15/3), tidak terdengar aksi penjarahan dan tindakan tercela lainnya.
Menghadapi kebutuhan akan dana rekonstruksi skala besar, Jepang masih menimbang tawaran internasional.
Membaca apresiasi atau penilaian masyarakat dunia tentang segi positif bangsa dan pemerintah Jepang menghadapi bencana dengan ketabahan dan kesiapan tersebut rasanya ingin sekali membahas mengenai prinsip bangsa Jepang menatap ke depan khususnya yang berhubungan dengan bencana-bencana yang telah menimpanya.
Di Jepang, hampir semua orang tahu dengan prinsip atau kata-kata “maemuki” yang artinya “Menatap Ke Depan”. Arti kata menatap ke depan ini berarti bisa disamakan dengan menatap masa depan dengan tidak terlalu menyesali hal buruk yang telah menimpanya, karena hanya itulah satu-satunya cara untuk mencapai kebaikan dan kemajuan.
Ada lagi kata-kata penyemangat yang selalu diucapkan dalam usaha keras bangsa Jepang yaitu “Gambaru shika nai” yang berarti “hanya bisa dengan berusaha”. Kata motivasi luar biasa itu sering diucapkan kepada kawan, saudara maupun teman kerja untuk bangkit dari keterpurukan hidup yang ujud katanya bisa menjadi “gambatte kudasai” berarti “berusahalah” atau “gambarimashoo” yang artinya “mari berusaha”.
Kata-kata tersebut diatas, di Jepang kelihatannya sepele sekali bila didengar tetapi akan menjadi hal yang sangat luar bisa bila diucapkan terus menerus setiap saat kepada siapapun dari masa anak-anak sampai dengan nenek-nenek seperti halnya nenek renta tadi yang menyanyikan sebuah lagu sambil menatap laut yang tenang setelah menampakkan murkanya. Hal ini telah terwujud di Jepang saat ini dalam menghadapi 3 bencana besar sekaligus.
Bisa gambarkan lagi di Jepang, kebanyakan orang Jepang malu mendapatkan bantuan dari orang lain atau pihak lain dalam setiap kegiatan hidupnya walau hal itu terkadang dianggap hal biasa oleh bangsa Indonesia, misalnya bila dibantu membawakan barang yang berat, dijemput dan lainnya. Pada prinsipnya budaya mereka mengajarkan untuk tidak merepotkan orang atau pihak lain dalam hidupnya, dan bila bisa melakukan hal itu dianggap suatu hidup mandiri yang baik dan terpuji.
Prinsip dalam budaya seperti itulah yang mempengaruhi sikap para pimpinan negara Jepang yang sangat tangguh menghadap masalah kehidupan seperti bencana gila yang melanda akhir-akhir ini dan sulitnya pemerintah Jepang menerima uluran tangan dari pihak International sebelum benar-benar mengerahkan tenaganya sampa habis keringatnya juga.
Hal di atas bisa penulis tambahkan bahwa pemerintah Jepang dalam menghimbau seluruh rakyatnya untuk bersama-sama mengatasi keadaan darurat di negerinya seperti pada saat ini selalu mengatakan dan berharap memikirkan dan melakukan “dekiru koto” yang artinya “apa yang kita bisa”. Hal ini dalam rangka membangkitkan akan kepercayaan dan kemampuan diri manusia termasuk bangsa Jepang yang sebenarnya mampu mengatasi segala masalah jika berusaha benar-benar.
Seperti yang ditulis lagi dalam harian Kompas hari ini bahwa masih terlalu dini untuk memprediksi apakah pemerintah Jepang berhasil memulihkan keadaan dan ekonominya setelah bencana, tetapi dilihat dari jauh, rakyat Jepang memperlihatkan ketabahan saat krisis. Hal ini telah dan akan berbicara banyak soal Jepang yang sangat serius memikirkan kehidupan dan kemanusiaan masa lalu, saat ini dan pastinya di masa depan.
Widget by [ Tips Blogger ]
0 comments:
Post a Comment